Feeds:
Pos
Komentar

Posts Tagged ‘cerita’

Hate My Self for Loving You

Kamu tau nggak kalau saat ini aku kangen banget sama kamu. Entah kenapa aku sampai nagis-nangis, air mata berlinang-linang mengalir deras gak bisa berhenti. Aku marah sama diriku sendiri, kok sampai segitunya, terlalu lemah, cengeng dan mengesalkan. It’s not me, I used to be stronger.

Sebenarnya apa kelebihanmu sampai aku harus kangen segala sama kamu. Padahal kamu tidak begitu mengacuhkan adanya aku. Kenyataannya aku nggak pernah bisa memalingkan hatiku dari mengingatmu, aku tak pernah lelah menanti uluran kasihmu. Rasa damai yang menyusup saat didekatmu tak bisa diambil alih oleh apapun, siapapun. Walau kenyataannya waktumu tak pernah ada untukku.

Segala sesuatu tentangmu tak berhenti menari-nari dalam pikiranku. Mengapa pesonamu enggan berlalu dari hatiku. Banyak waktu tersita terbuang sia-sia menganalisa fenomena perwujudanmu dalam kalbuku. Aku nggak suka keadaan itu, aku benci diriku, ya Tuhan apa yang terjadi padaku.

Aku tidak menginginkan kehadiran rasa ini dalam hatiku. Tapi aku tidak sanggup menyuruhnya pergi dan berhenti mengusikku. Apa yang harus aku lakukan. Aku begitu tersiksa dengan rasa ini. Aku kasihan pada diriku sendiri, tidak pernah aku merasa senelangsa ini. Aku merasa begitu kecil, lemah dan tak berdaya.

Aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkanmu. Secara rasional untuk apa sih aku harus memikirkan kamu segala. Apa untungnya bagiku memikirkanmu dan apapula untungnya bagimu jika aku memikirkanmu. Namun perasaan yang ada dihatiku tidak hubungannya dengan keuntungan karena ia bukan dagangan. Ia adalah getaran berjuta makna yang tak mampu aku jelaskan dan mungkin takkan pernah bisa untuk aku jelaskan.

Rasa yang menggetarkan jiwa tanpa tau maknanya. Sedemikian anehkah ia hingga tak ada penjelasan untuknya. Apakah ini rahasia Maha Pencipta yang disebut cinta. Apakah cinta tidak butuh alasan, seperti perasaanku padamu. Apakah cinta juga yang telah menempatkanmu dihatiku. Apakah cinta ini adalah cinta sejati yang memang tak pernah berharap balas. Akankah aku tetap mengagungkan cinta untukmu walau kamu tak ada rasa yang sama denganku. Semulia itukah cintaku, setelah nyata-nyata aku tau tak ada aku dihatimu.

Seandainya kamu tau rasa yang ada untukmu, apakah kamu akan tetap membiarkannya, yang tak lelah menanti uluranmu. Apakah aku harus benci pada diriku sendiri atau justru mensyukuri keagungan rasa yang menyelimuti hatiku. Kuatkah aku menjaga rasa ini, terlalu cinta hanya untukmu. Aku takut tak ada lagi cinta tersisa dihatiku, bahkan untuk diriku sendiri karena segenap hatiku hanya untuk mencintaimu.

Buat Mahameru Dari Pelangi

Read Full Post »

Tak pernah terpikir olehku kalau kehidupan yang aku jalani dipenuhi dengan kejutan. Namun kejutan yang aku dapati kali ini sungguh menakjubkan dan diluar dugaan (tentu saja diluar dugaan namanya juga kejutan-red). Ada rahasia Tuhan yang sangat indah yang dipersiapkan untukku. Akan aku bagikan kebahagiaan ini sebagai ungkapan rasa syukurku yang membuat keyakinanku semakin kuat kalau keajaiban itu benar-benar ada.

Sejak kecil aku sudah tertarik dengan dunia kesenian. Aku terlibat aktif di sebuah sanggar dengan mengikuti berbagai kegiatan menari dan teater. Banyak gelar yang aku raih dari berbagai perlombaan yang aku ikuti, piala dan piagam penghargaan berderet dirumahku. Orang tuaku tidak keberatan dengan padatnya aktifitas yang aku jalani sepanjang semua itu tidak mengganggu sekolahku. Untuk itu aku juga giat belajar agar ayah dan ibu tetap memberi izin untuk tetap aktif di sanggar. (lebih…)

Read Full Post »

Cincin

Cincin siapo nan Uda pakai, Denai nan indak dibari tau
Cincinlah lakek di jari Uda, dijari manih Uda pasangkan”


Begitu kira-kira sepenggal bait lagu yang aku ingat ketika melihat cincin melingkar manis dijari Uda pagi ini. Dalam pertemuan singkat, dan selalu singkat seperti biasanya. Kuperhatikan ada cincin putih dengan satu butir permata ditengahnya, begitu indahnya, nafasku tertahan, hatiku gundah, pikiranku galau. Namun sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan agar tidak meledak dan terkesan berlebihan. Tetapku tersenyum menanyakan kabar dan sekedar kata-kata yang biasa kuucapkan memberi kekuatan dan mengiringi Uda sebelum mulai bekerja.

Tak bisa menahan kejolak di hati akhirnya kutanyakan juga perihal cincin itu dengan sangat hati-hati. Dengan ringan dan tanpa beban Uda menjawab kalau cincin itu nemu dirumah mama, it’s nothing. Aku tersenyum, terimakasih telah menganggapku sebagai makhluk paling bodoh dengan jawaban seenteng itu. Aku berlalu dari Uda pagi itu, menuju duniaku dan membiarkan dia bekerja dan tenggelam dengan seluruh kebohongannya.

Seiring langkahku meninggalkan Uda dan kebohongannya tak kuasa kutahan aliran bening dikedua mataku. Kali ini aku harus bebar-benar pergi. Aku tidak bisa terus-terusan dalam ketidakpastian. Bila harapku tak berbalas untuk apa kuhabiskan waktuku untuk sebuah angan-angan yang ternyata juga berselubung kebohongan. Tapi bisakah aku benar-benar pergi kali ini? Pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Uda dalam arti yang sesungguhnya. Sanggupkah aku melupakan semuanya, pesonanya, perhatiannya, kasihnya?


Tuhan.., beri aku kekuatan, hapuslah pesonanya dari relung hatiku. Cincin yang kulihat pagi ini merupakan pertanda hati Uda tidak lagi untukku. Jangan sampai hatiku hancur kehilangan setitik cinta didunia ini. Jangan tukar cinta dari Yang Maha Pencinta dengan cinta yang kecil ini, kuat akan aku.

Tuhan.., semua cinta boleh meninggalkanku, asalkan Engkau selalu bersamaku. Kuatkanlah aku hingga aku sanggup berkata selamat berbahagia Uda, semoga pilihan Uda tepat.

Jum’at, 11 April 2008

be pation dear friend, you not alone.

pelangi ini untuk muplease smile..,

Read Full Post »

Dengan mantap kulangkahkan kaki meninggalkan Ranah Pesisir, tanah kelahiranku, kampung halamanku. Sekalilagi kutatap wajah ayah dan bunda yang penuh pengharapan. Walau ada gundah namun sinar dimata kedua orang tuaku menyiratkan rasa bangga yang tak terkira yang membuatku semakin yakin dengan keputusanku untuk merantau dan melanjutkan pendidikan di “Darek”, sebutan orang kampungku untuk daerah Luhak Nan Tigo yang terkenal dangan mutu pendidikannya yang bagus.

Tujuanku adalah Pesantren “Pasia” di Bukittinggi, namun sebenarnya pesantren ini terletak di Kabupaten Agam, namun orang di kampungku lebih mengenal Kota Bukittinggi. Tak sulit bagiku untuk masuk pesantren ini. Semua test yang diberikan Alhamdulillah dapat aku lewati dengan baik. Kesungguhanku dalam belajar membuat prestasiku semakin baik dan orang tuaku di kampung juga semakin bangga, tak sia-sia telah bersusah payah mengirimku sekolah jauh dari kampung.

Selain rajin belajar dipesantren aku sering ikut perlombaan yang di adakan disekitar daerah ini. Suatu waktu aku mengikuti lomba Musabaqah dan Azan yang diadakan Pemerintah Kota Bukittinggi yang lokasi pelaksanaanya di Kampung Kubu tak jauh dari Pesantren Pasia. Alhamdulillah semua nomor yang aku ikuti dapat aku menangkan.

Dalam waktu singkat aku  dikenal dikampung Kubu. Aku sering diundang pada acara wirid pengajian sebagai pembaca Al-Qur’an. Lama kelamaan aku semakin dekat dengan jama’ah dan pengurus mesjid disana. Pengurus memberi tawaran agar aku tinggal saja dimesjid, sebagai penjaga dan membersihkan mesjid sekaligus mengumandangkan azan pada waktu Shalat tiba. Aku sangat senang menerima tawaran ini, orang tua dikampung juga tidak keberatan dan pihak asrama di pesantren juga memberi izin.
Hubunganku dengan jamaah mesjid dan warga kampung semakin baik. Banyak ibu-ibu yang memberiku beras, makanan, pakain dan buku-buku bahkan tak jarang juga memberi uang. Aku sangat bersyukur akan kemurahan rezeki yang dilimpahkan padaku dan dapat sedikit meringankan beban orang tuaku. Ada juga yang memintaku mengajar anaknya mengaji secara privat, tapi belum bisa aku penuhi karena waktuku yang sempit dan harus konsentrasi pada pelajaran di pesantren agar bisa lulus sesuai target.

Namun tak semua berjalan baik, ditengah anugrah yang aku terima, aku juga dihadapkan pada kendala. Beberapa pemuda di kampung ini menunjukkan rasa kurang senang atas keberadaanku. Mereka selalu berpandangan sinis dan tidak pernah menyahut sapaanku. Aku selalu bersabar dan menyadari sepenuhnya kalau aku berada di kampung orang, jadi aku harus pandai-pandai menjaga sikap.

Suatu ketika di Bulan Februari tepatnya pada tanggal 14, mesjid kami mengadakan wirid pengajian. Jam menunjukkan pukul 9.15 saat seorang ibu yang tinggal tak jauh dari mesjid menahan langkahku ketika hendak memasuki kamar yang berada di samping mesjid. Ia minta padaku agar menemani dia dengan putrinya yang hendak meminjam buku pada teman sekolahnya yang tinggal di Kampung Ketaping, yang berjarak sekitar 15 menit jalan kaki dari mesjid. Tanpa ada firasat buruk akupun memenuhi permintaan ibu itu. Dan kamipun kembali, seingatku waktu itu baru sekitar jam setengah sepuluh.

Sebelum aku membuka kunci pintu, kerah bajuku direnggutkan dengan kasar oleh beberapa orang pemuda. Mereka merampas kunci dan senter dari tanganku dan kemudian membantingnya. Senterku berantakan, baterai berserakan ditanah. Belum sempat aku menanyakan apa-apa, hantaman dan pukulan menghujani tubuhku. Aku diseret kekantor pemuda, dengan samar aku melihat ada beberapa pemuda disana mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kasar. Hantaman dan pukulan tak berhenti menghampiriku ditambah lagi lemparan bongol jangung bakar susul menyusul. Aku tak dapat berbuat apa-apa, hanya memanjatkan seluruh doa-doa yang aku ingat, doa Nabi Adam, doa Nabi Ibrahim, Doa Nabi Musa, Doa Nabi Yusuf, Doa Nabi Muhammad, semuanya yang bisa aku ingat hingga aku pingsan tak sadarkan diri.

Waktu aku membuka mata, sekujur tubuhku terasa sakit. Kulihat sekelilingku ada Pak RT, Pengurus Mesjid dan beberapa pemuda. Melihatku sudah sadar, ketua pemuda angkat bicara. Darinya kuketahui kalau aku dinyatakan bersalah telah melanggar norma di kampung itu karena telah mengunjungi rumah seorang gadis malam hari diluar jam tamu yang berlaku. Aku disodori surat perjanjian yang harus ditandatangani. Disitu tertulis kalau aku harus keluar dari kampung itu dan membayar denda sebanyak 20 kotak keramik. Aku terkejut, terhenyak, tak masalah bagiku untuk pergi dari kampung Kubu, tapi untuk membayar denda, mustahil untuk kupenuhi.

Kualihkan pandangan pada Pak RT dan Pengurus Mesjid, berharap kebijaksanaan mereka. Namun kulihat mereka juga tak berdaya. Niatku untuk membela diri kutahan, bukannya aku takut, semua sudah tau tabiat ketua pemuda dikampung itu. Ia adalah anak seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani. Tak ada warga kampung yang mau cari perkara dengannya maupun keluarga besarnyanya. Semua berada dibawah tekanannya dan sudah berlangsung sejak nenek moyang mereka dulunya, bahkan aparat kelurahanpun sangat enggan berurusan dengan keluarga itu.

Rupanya kejadian malam itu sudah lama direncanakan oleh sang ketua pemuda dan beberapa pemuda lainnya. Mereka memang sudah lama menyimpan kebencian akan keberadaanku dikampung itu. Malam itu saat melihatku mengantar seorang gadis meminjam buku kerumah temannya dijadikan alasan yang tapat untuk mencari alasan agar aku keluar dari kampung itu. Pada hal malam itu ibu gadis itu juga ikut dengan kami dan aku mengantarnya sampai depan rumah tidak sampai bertamu seperti yang dituduhkan. Tapi apapun penjelasan pasti tidak akan ada gunanya jika berhadapan dengan orang yang sedang gelap mata seperti itu. Aku juga teringat nasehat untuk tidak memperpanjang urusan dengan mereka karena kabarnya mereka mau melakukan apa saja agar maksud mereka kesampaian. Jadi dalam hal ini yang aku lakukan hanyalah bersabar, aku yakin Tuhan tau siapa yang bersalah dan siapa yang tidak.

Mau tidak mau keadaan yang menimpaku kukabari pada orang tuaku. Dengan berat kuceritakan kejadian yang menimpaku pada ayah dan bunda. Tak lama mereka datang mengunjungiku dengan membawa uang denda hasil dari menggadaikan sawah dikampung. Aku sedih sekali, namun orang tuaku menyuruhku untuk bersabar dan selalu berdoa agar aku diberi kekuatan menghadapi berbagai cobaan. Aku sangat terharu dengan perhatian dan kasih sayang orang tuaku. Aku berjanji dalam hati akan selalu berbakti pada mereka dan berusaha untuk tidak mengecewakan mereka.

Setelah semuanya selesai aku kembali keasrama di pesantren. Waktu pihak pesantren mengetahui masalah yang menimpaku, mereka menyarankan untuk melaporkan kejadian ini pada pihak yang berwajib dan menyelesaikannya secara hukum. Tapi dengan halus kutolak dan kujelaskan kalau ini adalah ujian kesabaran untuk mengetahui kekuatanku. Bukannya aku takut tapi aku tak mau membuang waktu memperpanjang urusan dengan pemuda kampung itu. Biarlah keadilan akhirat saja yang hendak kutuai karena ku yakin pada yang Maha Adil.

Sekarang kuambil hikmah dari peristiwa yang menimpaku. Dari pada aku menghabiskan waktu dan tenaga memperpanjang urusan dengan para pemuda itu lebih baik aku tinggal di asrama, konsentrasi pada pelajaran. Lagi pula sebentar lagi ujian, prestasiku harus bagus, siapa tau ada beasiswa menungguku untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Semoga pengalaman ini menjadi pelajaran hidup yang berharga dan menjadikan aku lebih dewasa juga lebih bijaksana.

Ladang Cakiah, 10 April 2008

Thank’s to Pak Man (Polmaswil ABTB)

You the man, Pak Man

Read Full Post »

Titik Balik

Suasana pagi yang cerah di kantor direksi digemparkan dengan ketegangan dan hiruk pikuk yang berasal dari Departemen Hukum perusahaan yang sedang tumbuh itu. Ternyata ada kejadian menggemparkan yang beredar pagi itu. Kepala Departemen Hukum ditemukan tewas didalam ruangan kerjanya. Office boy yang bertugas di departemen tersebut pagi ini langsung melaporkan kebagian keamanan di lantai dasar.

Tak lama berselang polisi dan tim medis sudah sampai dikantor tersebut dan langsung memasang police line serta mengevakuasi mayat Pak Hadi Asmajaya, nama korban yang menjabat Kepala Departemen Hukum. Beberapa polisi memeriksa ruang kerja Pak Hadi, mengambil gambar dan memeriksa beberapa catatan serta mengamankan barang-barang yang diharapkan bisa dijadikan petunjuk. Sementara yang lainnya tampak sedang berbicara didalam ruang direksi, mencari keterangan yang dibutuhkan untuk penyelidikan.

Dari desas-desus yang berkembang diketahui bahwa kemarin Pak Hadi memang masih terlihat dikantor hingga sore sementara sebagian besar karyawan sudah pulang. Departemen Hukum memang sedang sibuk karena banyaknya kegiatan yang harus dilaksanakan. Selain Pak Hadi ada beberapa stafnya yang kerja lembur pada sore itu.

Keterangan office boy yang bertugas sore itu membenarkan kalau Departemen Hukum memang pulang agak larut kemarin. Dan disebutkannya juga kalau sore itu terjadi adu mulut antara Kepala Departemen dengan stafnya dari Sub Bagian Bantuan Hukum. Tapi dia tidak tahu persis apa yang diperdebatkan. Lagi pula ketegangan semacam itu merupakan hal yang biasa di perusahaan ini.
Departemen Hukum diperusahaan ini terdiri dari tiga sub bagian yaitu; Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan yang dikepalai oleh Irene Abdullah putri Pak Abdullah wakil komisaris perusahaan, Sub Bagian Bantuan Hukum yang dipimpin oleh Arifin, Sub Bagian Penyuluhan Hukum oleh Pak Yayat yang hampir memasuki masa pensiun.

Sementara penyelidikan polisi berlangsung, Dewan Direksi juga berkutat mencari pengganti Pak Hadi untuk menjabat sebagai Kepala Departemen Hukum. Departemen ini tidak bisa dibiarkan kosong berlama-lama karena ada banyak kegiatan yang harus dilaksanakan dan banyak masalah yang membutuhkan penanganan segera.

Sebelum nama calon diajukan ke Dewan Komisaris, Direksi harus benar-benar menemukan calon yang tepat dengan alasan yang tepat pula. Kalau tidak Komisaris akan menetapkan calon yang tak terduga yang bisa saja mengambat kinerja perusahaan. Proses seleksi harus dilakukan cepat sebelum para penguasa perusahan itu mengajukan calon yang tak terduga atau bahkan tidak bisa diharapkan.
Calon yang paling memungkinkan adalah orang dalam Departemen Hukum sendiri karena mereka lebih mengetahui kondisi dan terlibat langsung dalam sejumlah besar kegiatan dalam departemen tersebut. Tiga Kasubagpun otomatis diapungkan sebagai calon. Irene, Kasubag Peraturan Perundang-undangan sudah pasti mendapatkan suara di Komisaris, karena dia merupakan putri wakil komisaris. Riwayat jabatannya yang sekarangpun merupakan hasil titipan.

Kinerja Irene sendiri sebenarnya not bad. Gelar akademispun over seas. Namun sikapnya yang kurang bersahabat sering memicu konflik dengan sesama rekan kerjanya. Pernah suatu ketika Irene mencak-mencak masalah pengadaan Lap Top untuk Departemen Hukum. Tanpa referensi yang jelas dia meminta Lap Top yang ada pada Arifin diberikan padanya dengan dalih penggunaan Lap Top di Departemen Hukum adalah untuk subag yang ia pimpin. Dengan tenang Arifin berkata “Setelah ada referensi dari Bagian Pengadaan dan Kepala Departemen, baru bisa seperti itu.”

Irene segera menuju Bagian Pengadaan. Mendapatkan referensi tersebut sangatlah mudah bagi Irene bahkan dari Dewan Komisaris sekalipun. Namun alangkah terkejutnya Irene ternyata Lap Top untuk Departemen Hukum masih di Bagian Pengadaan. Dari petugas Irene mengetahui kalau Lap Top itu baru saja datang. Sebulan yang lalu Arifin memang sudah menayakan hal itu namun belum bisa realisasi dalam waktu dekat. Karena Arifin sering kelapangan dan dia pribadi juga butuh, maka diputuskannya untuk membeli secara pribadi. Walaupun sebenarnya Departemen sudah menyetujui pengadaan Lap Top untuk Subag yang ia pimpin.

Irene meminta petugas menyerahkan Lap Top itu padanya, “Tidak bisa Buk, Pak Arifin belum tandatangan, referensi atas nama dia” jawab petugas memberi penjelasan. “Itu gampang saya akan cari satu blok referensi buat kamu” tukas Irene kasar.

Hampir semua bawahan baik didalam maupun diluar departemen dibuat jengkel oleh Irene. Namun disisi lain dia sungguh manis pada atasan terutama Dewan Komisaris. Reputasinya ini membuat namanya dicoret dari daftar calon.

Selanjutnya dalah Pak Yayat, sudah senior memang tapi juga sudah sepuh dan siap-siap mau pensiun. Disamping itu back groudnya bukan hukum. Pengalaman lapangannya membuat dia diletakkan dijabatannya yang sekarang. Akhir-akhir ini karena kondisi kesehatan, Pak Yayat sering minta bantuan Arifin untuk menyelesaikan tugasnya. Karena kondisi ini akhirnya nama Pak Yayat juga gagal diajukan pada Dewan Komisaris.

Calon terakhir dari dalam departemen adalah Kasubag Bantuan Hukum, Arifin. Seorang pekerja keras yang memulai kariernya dari bawah dan piawai menghandle berbagai tugas yang dipercayakan padanya. Ia juga agak keras kepala terutama dalam mempertahankan prinsip. Tak jarang dia terlibat adu argumentasi dengan Pak Hadi ataupun yang lainnya.
Pak Hadi terkenal dengan egonya yang tinggi dan sikapnya yang kaku. Namun ia merupakan salah satu pejabat dengan tingkat kecerdasan yang tinggi. Dari hasil tes yang dilakukan perusahaan secara berkala, peringkat tertinggi tak pernah lepas dari tangannya. Ia juga bersikap dingin seperti salju yang kemungkinan disebabkan karena kurangnya kasih sayang yang diharapkan didapat dari keluarganya.

Pak Hadi yatim piatu, semenjak ditinggal kedua orang tuanya yang mengalami kecelakaan pesawat, ia dirawat oleh kakak perempuan satu-satunya yang berprofesi sebagai paranormal karena kekuatan supranatural yang dimilikinya. Segelintir orang berpendapat bahwa kakaknya ada dibalik kesuksesan Pak Hadi.

Pada sore sebelum Pak Hadi ditemukan tewas terjadi pertengkaran hebat antara Pak Hadi dan Arifin. Saat Arifin mohon persetujuan surat tugas untuk penyuluhan pertanahan di kantor cabang. Pak Hadi menolaknya dengan alasan itu tugas Subag Penyuluhan Hukum. Arifin kemudian menjelaskan kalau Pak Yayat minta bantuannya untuk mengisi sesion yang menjadi tanggung jawab Pak Yayat.
Karena terkenal ego dan kaku Pak Hadi tetap menolak menandatangani surat tugas itu. Apapun argumentasi yang dikemukakan Arifin tak digubrisnya. Ia lebih memilih mengosongkan sesi yang harus diisi Pak Yayat dibanding menugaskan Arifin. Pertengkaran Arifin dan Pak Hadi sudah sering terjadi. Pak Hadi yang merasa kesenioran dan kepintarannya yang telah trade mark tidak bisa dipintas begitu saja oleh Arifin dengan prinsip-prinsipnya yang dianggap tidak maching dengannya. Alih-alih merasa bangga dengan keberhasilan Arifin dilapangan, dia malah khawatir kalau ada yang membicarakan kesuksesan stafnya.

Apa yang dialami Arifin dan Pak Hadi sebelum hari naas itu menjadi sandungan untuk mengajukan Arifin pada Dewan Komisaris. Sore itu Direksi menemui kebuntuan dalam menetapkan calon Kepala Departemen Hukum. Walaupun Dewan Direksi sepenuhnya percaya Arifin tidak terkait dengan tewasnya Pak Hadi, namun memberi Arifin kepercayaan memimpin Departemen Hukum dalam kondisi saat ini bukanlah sebuah keputusan yang aman. Apalagi rumor yang berkembang sehubungan pertengkarannya dengan Pak Hadi yang sering disaksikan staf lainnya membuat posisi Arifin kurang menguntungkan.

Laporan sementara polisi menyebutkan kalau Pak Hadi tewas karena Arsenik, sejenis racun yang tergolong berbahaya yang biasa juga disebut dengan racun warangan. Warangan biasa digunakan untuk membersihkan benda-benda pusaka seperti keris, pedang, ujung tombak dan lainnya. Senjata yang telah dioles warangan akan menjadi sangat mematikan jangankan tertusuk, tergores saja bisa membuat korban teracuni.

Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium forensik, Arsenik ditemukan pada cangkir kopi yang isinya hampir habis saat cangkir itu diamankan waktu kejadian. Selain itu Arsenik juga ditemukan pada buku teks tebal terbitan luar negeri yang diterletak dimeja kerja Pak Hadi.

Gonjang-ganjing tewasnya Pak Hadi karena racun yang berbahaya makin santer diperbincangkan. Berbagai spekulasi bermunculan. Siapa gerangan pelaku yang menyebabkan tewasnya Kepala Departemen Hukum itu dan apa motifnya. Bagian umum juga ikut dibikin kelabakan sehubungan dengan penemuan cangkir berArsenik itu. Masalahnya bagian umumlah yang bertanggungjawab dalam urusan konsumsi termasuk kopi yang sampai ke meja Pak Hadi dan meja karyawan lainnya tiap hari.
Penyelidikan terus dikembangkan beberapa saksi dipanggil dan semua yang terlibat dengan Pak Hadi pada saat lembur sore itu tak luput dari pemeriksaan. Termasuk Arifin yang dicecar berbagai pertanyaan selama setengah hari. Ofice boy yang bertugas pada sore itu juga diperiksa secara intensif.

Dari penyelidikan lanjutan diketahui kalau kopi yang diminum Pak Hadi bebas Arsenik. Walaupun untuk meracuni seseorang terkadang racun tidak dicampur dalam minuman, tapi dioles pad bibir gelas sehingga bisa langsung kontak dengan syaraf bibir dan lidah. Namun pola Arsenik yang menempel dicangkir kopi Pak Hadi bukan pola olesan, melainkan berasal dari jari tangan Pak Hadi. Jadi dapat dipastikan racun bukan berasal dari kopi maupun cangkirnya. Office boy dan Bagian Umum bisa bernafas lega atas penemuan ini.

Dewan Redaksi makin tidak tenang. Siapa gerangan yang membunuh Pak Hadi. Tidak bisa dipungkiri kalau pengerucutan mengarah pada Arifin. Arifin memang keras kepala dan sering tidak sefaham dengan Pak Hadi. Namun melakukan tindakan bodoh seperti itu bukanlah tipenya. Apakah Pak Hadi membuat Arifin begitu marah dan kecewa sehingga Arifin kehilangan akal sehat, rasanya tidak mungkin. Sulit dipercaya kalau dia pelakunya. Walau ambisius Arifin adalah seorang yang sportif dan sangat berhati-hati. Tapi kalau ternyata memang dia melakukan semua kekonyolan itu otomatis pupus sudah harapan Dewan Direksi memposisikannya sebagai Kepala Departemen Hukum. Yang ada dia akan menjalani sebagian hidupnya dalam penjara dan berakhirlah semua jerih usaha yang dirintisnya selama ini. Waktu Pak Yayat menanyakan pendapat Arifin tentang rumor yang berkembang, dengan santai Arifin menjawab “Saya emang nekat Pak, tapi tidak gila.”

Walau mencoba bersikap tenang, tak bisa dipungkiri kalau Arifin cukup terganggu dengan suasana yang makin berkembang. Seringkali ia hampir kehilangan kesabaran menghadapi tatapan sisnis dan menyelidik. Dan lebih membuatnya kesal adalah ia merasa diawasi dan segala gerak-geriknya diikuti. Aktivitasnya juga dibatasi dengan alasan stabilitas dan faktor keamanan.

Sampai akhirnya laporan resmi polisi mengenai kematian Pak Hadi dipublikasikan. Arsenik yang meracuni Pak Hadi berasal dari buku teks tebal yang sedang dibaca Pak Hadi sesaat sebelum kematiannya. Sepintas noda Arsenik tak terlihat pada lembaran-lembaran buku itu karena jenis kertasnya bagus yang disebut counted papper yang berasal dari Swedia. Jika Arsenik mengenai kertas biasa maka akan terlihat noda yang kasat mata.

Ketika semua sudah pulang, Pak Hadi biasa menyempatkan diri membaca beberapa buku dan menulis beberapa referensi. Kebiasaan Pak Hadi kalau membaca buku adalah halaman berikut dikebet dengan jari yang dijilat terlebih dahulu. Tanpa sadar ia telah memindahkan Arsenik dari buku teks ke mulutnya. Kopi yang diminum sore itu justru mempercepat serangan mematikan Arsenik.

Buku teks yang dibaca Pak Hadi baru saja dibelinya saat bertugas ke Surabaya. Bersamaan dengan itu ia juga membeli racun warangan yang mengandung Arsenik yang dipesan oleh kakaknya, seorang paranormal yang biasa menggunakan warangan untuk membersihkan benda-benda pusaka koleksinya. Warangan yang dibeli Pak Hadi ditempatkan pada bungkusan bersamaan dengan buku teks dan masuk bagasi yang dalam dokumennya dituliskan obat batuk. Karena tentu saja tidak diizinkan membawa warangan dalam penerbangan. Cara ini berhasil membawa warangan sampai ketangan kakaknya. Namun sayang sekali ternyata ada rembesan yang mengenai buku teks yang tidak disadari karena memang nodanya tidak kelihatan. Kecerobohan inilah yang mengantar Pak Hadi pada kematian yang naas.
Demikianlah pernyataan dari resmi kepolisian menyebutkan bahwa kematian Pak Hadi disebabkan oleh kecelakaan. Pernyataan yang sekaligus melegakan Arifin. Yang juga meruntuhkan opini miring dan tatapan penuh curiga yang dialamatkan padanya. Pernyataan yang secara tidak langsung menjadi tiket untuk menduduki posisi Kepala Departemen Hukum. Yang menurut Dewan direksi memang pantas untuknya. Tinggal lagi tugas direksi meyakinkan Dewan Komisaris untuk menerima pengajuan ini.
Selain itu Arifin juga diminta dewan direksi untuk meningkatkan kinerjanya yang selama ini sudah cukup bagus. Meningkatkan disiplin karena prilakunya akan jadi panutan bawahannya yang tentu saja bertambah banyak dengan posisi barunya ini. Terutama sekali sikap keras kepalanya harus bisa ditekan agar kepemimpinannya berhasil dengan baik. Namun Dewan Direksi berkeyakinan dengan potensi yang dimilikinya, Arifin tidak akan mengecewakan.

Insipired by our journy on 28th March
I always love that
It’s dedicate for you.

Read Full Post »

Disebuah rumah sederhana yang asri tinggal sepasang suami istri yang sudah memasuki usia senja. Pasangan ini dikaruniai dua orang anak yang telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri yang mapan. Sang suami merupakan seorang pensiunan sedangkan istrinya seorang ibu rumah tangga. Suami istri ini lebih memilih untuk tetap tinggal dirumah mereka ketika putra-putri mereka menawarkan untuk ikut pindah. Jadilah mereka, sepasang suami istri yang hampir renta itu menghabiskan waktu mereka yang tersisa dirumah yang telah menjadi saksi berjuta peristiwa dalam keluarga itu.
Suatu senja ba’da Isya disebuah mesjid tak jauh dari rumah mereka, sang istri tidak menemukan sandal yang tadi dikenakannya kemesjid tadi. Saat sibuk mencari, suaminya datang menghampiri “Kenapa Buk?” Istrinya menoleh sambil menjawab “Sandal Ibuk tidak ketemu Pak”. “Ya udah pakai ini saja” kata suaminya sambil menyodorkan sandal yang dipakainya. Walau agak ragu sang istri tetap memakai sandal itu dengan berat hati. Menuruti perkataan suaminya adalah tabiatnya. Jarang sekali ia membantah apa yang dikatakan oleh sang suami.
Mengerti kegundahan istrinya, sang suami mengeratkan genggaman pada tangan istrinya. “Bagaimanapun usahaku untuk berterimakasih pada kaki istriku yang telah menopang hidupku selama puluhan tahun itu, takkan pernah setimpal terhadap apa yang telah dilakukannya. Kaki yang selalu berlari kecil membukakan pintu untukkku saat aku pulang, kaki yang telah mengantar anak-anakku ke sekolah tanpa kenal lelah, serta kaki yang menyusuri berbagai tempat mencari berbagai kebutuhanku dan anak-anakku”. Sang istri memandang suaminya sambil tersenyum dengan tulus dan merekapun mengarahkan langkah menuju rumah tempat bahagia bersemayam.
***
Karena usia yang telah lanjut dan penyakit diabetes yang dideritanya, sang istri mulai mangalami gangguan penglihatan. Saat ia kesulitan merapikan kukunya, sang suami dengan lembut mengambil gunting kuku dari tangan istrinya. Jari-jari yang mulai keriput itu dalam genggamannya mulai dirapikan dan setelah selesai sang suami mencium jari-jari itu dengan lembut dan bergumam “Terimakasih”.
“Tidak, Ibuk yang terimakasih sama Bapak, telah membantu memotong kuku Ibuk” tukas sang istri tersipu malu. “Terimakasih untuk semua pekerjaan luar biasa yang belum tentu sanggup aku lakukan. Aku takjub betapa luar biasanya Ibuk. Aku tau semua takkan terbalas sampai kapanpun” kata suaminya tulus. Dua titik bening menggantung disudut mata sang istri “Bapak kok bicara begitu? Ibuk senang atas semuanya Pak, apa yang telah kita lalui bersama adalah luar biasa. Ibuk selalu bersyukur atas semua yang dilimpahkan pada keluarga kita, baik ataupun buruk. Semuanya dapat kita hadapi bersama.”
***
Hari Jum’at yang cerah setelah beberapa hari hujan. Siang itu sang suami bersiap hendak menunaikan ibadah Shalat Jum’at, setelah berpamitan pada sang istri, ia menoleh sekali lagi pada sang istri menatap tepat pada matanya sebelum akhirnya melangkah pergi.
Tak ada detak yang tak biasa di jantung sang istri hingga saat beberapa orang mengetuk pintu membawa kabar yang tak pernah diduganya. Ternyata siang itu sang suami tercinta telah menyelesaikan perjalanannya di dunia. Ia telah pulang menghadap sang penciptanya ketika sedang menjalankan ibadah Shalat Jum’at, tepatnya saat duduk membaca Tahyat terakhir. Masih dalam posisi duduk sempurna dengan telunjuk kearah Kiblat, ia menghadap Yang Maha Kuasa. “Subhanallah sungguh akhir perjalanan yang indah” gumam para jama’ah setelah menyadari kalau dia telah tiada.
Sang istri terbayang tatapan terakhir suaminya saat mau berangkat kemesjid. Terselip tanya dalam hatinya, mungkinkah itu sebagai tanda perpisahan pengganti ucapan selamat tinggal. Ataukah suaminya khawatir meninggalkannya sendiri didunia ini. Ada gundah menggelayut dihati sang istri. Walau masih ada anak-anak yang akan mengurusnya, tapi kehilangan suami yang telah didampinginya selama puluhan tahun cukup membuatnya terguncang. Namun ia tidak mengurangi sedikitpun keikhlasan dihatinya yang bisa menghambat perjalanan sang suami menghadap Sang Khalik. Dalam do’a dia selalu memohon kekuatan agar dapat bertahan dan juga memohon agar suaminya ditempatkan pada tempat yang layak.
Tak lama setelah kepergian suaminya, sang istri bermimpi bertemu dengan suaminya. Dengan wajah yang cerah sang suami menghampiri istrinya dan menyisir rambut sang istri dengan lembut. “Apa yang Bapak lakukan?’ tanya istrinya senang bercampur bingung. “Ibuk harus kelihatan cantik, kita akan melakukan perjalanan panjang. Bapak tidak bisa tanpa Ibuk, bahkan setelah kehidupan didunia berakhir, Bapak selalu butuh Ibuk. Saat disuruh memilih pendamping Bapak bingung, kemudian bilang pendampingnya tertinggal, Bapakpun mohon izin untuk menjemput Ibuk.”
Istrinya menangis sebelum akhirnya berkata “Ibuk ikhlas Bapak pergi, tapi Ibuk juga tidak bisa bohong kalau Ibuk takut sekali tinggal sendiri. Kalau ada kesempatan mendampingi Bapak sekali lagi dan untuk selamanya tentu saja tidak akan Ibuk sia-siakan. Sang istri mengakhiri tangisannya dan menggantinya dengan senyuman. Senyuman indah dalam tidur panjang selamanya.

Ladang Cakiah, 7 April 2008
Insipired on true story
Dedicate to warga perumnas Kubang Putih
Thank’s to Jamaah Mesjid istiqamah Tambuo Aur Kuning

Read Full Post »

BUAT PAPA DI SURGA (TENTANG CINTA DALAM HATI)

Pandangan menyelidik lelaki tua dari dalam ruangan kecil itu menghentikan langkahku untuk sesaat. Dia tersudut diruang yang cukup remang menatap dari balai bambu yang menyatu dengan dinding diruangan itu. Langkahku yang sempat terhenti ketika hampir sampai diberanda pondok kecil itu kuayunkan lagi dengan sedikit ragu menghampirinya. Itu kulakukan untuk membuktikan aku hanya melihat-melihat sekeliling rumah Ryza saat dia sibuk mempersiapkan keperluan acara keluarganya. Selain itu aku juga menghormati pandangan lelaki tua yang seakan mempersilahkan aku masuk. Belum sempat aku mengucapkan apa-apa, “Kawan Ryza?” tanyanya. “Iya Pa” jawabku langsung mengakrabkan diri. Ada keyakinanku dia adalah papanya Ryza teman akrabku yang akhir-akhir ini cukup dekat denganku karena beberapa kegiatan yang kami jalani bersama. Mata bulat itu tetap dengan pandangan menyelidik yang mengingatkan aku pada mata Ryza. Rupanya dari lelaki ini dia mendapatkan mata yang sangat aku kagumi itu, gumamku. Tubuh ringkih berkulit gelap itu tersenyum tapi hanya sedikit seperti dipaksakan, mungkin dia bermaksud untuk menghormatiku atau juga berusaha membuat aku merasa nyaman dan diterima, persis sifat Ryza. Di depan balai bambu tempat dia duduk ada meja sebuah kecil yang diatasnya ada muk besar berisi kopi yang hampir habis namun aromanya masih tercium dan sangat akrab dihidungku, kesukaan Ryza. Ada kursi rotan disamping meja itu, namun aku tidak duduk disitu karena selain tidak dipersilahkan aku juga enggan duduk karena dari tadi duduk sampai capek dan akhirnya aku berjalan-jalan kebelakang rumah Ryza dan akhirnya menemukan pondok kecil ini. Aku tetap berdiri membalas senyumannya dengan tulus sampai akhirnya ia menanyakan namaku. “Rani. Maharani Rahmadika Putri”. Jawabku sambil tetap tersenyum. “Nama yang bagus”. Balasnya dengan nafas tertahan dan agak tersendat. “Papa sakit?” tanyaku agak khawatir. “Sekarang sudah tidak lagi Nak”. Jawabnya seakan berusaha menghiburku, seperti Ryza. “Rani…, “ katanya memecah kebisuan, eh..dia menyebut namaku. Aneh seperti tersihir dalam beberapa detik saja aku sudah merasa sangat akrab dan sangat dekat dengan lelaki itu. “Jangan Rani terlalu melarang-larang Ryza, ndak usah pula disuruh ini itu dulu. Kasihan Papa sama Rani.” katanya melanjutkan. Sesaat kemudian aku tercenung, bingung maksud perkata papanya Ryza yang tiba-tiba dan tidak jelas arah tujuannya. “Kalau Rani sayang sama Ryza doakan agar dia dapat melalui semuanya dengan baik, mungkin itu yang paling dibutuhkannya saat ini” sambungnya. Belum lunas penasaran dengan kalimat yang dilontarkan pertama kini ditambah lagi dengan kalimat kedua yang juga membingungkan. Persis Ryza yang selalu mengharuskan aku untuk menganalisa apapun yang diucapkannya.
Aku dikagetkan azan Ashar didalam kebingunganku dan entah bagaimana aku telah berada lagi ditengah acara keluarga Ryza siap dengan perlengkapan untuk Shalat berjamaah mengakhiri acara yang sedang berlangsung. Begitu hebatkah kebingungan yang melandaku hingga aku tak tau bagaimana aku bisa berada di tengah acara ini lagi.
Selesai acara aku diantar Ryza. Jalan yang kami lalui sungguh indah, sawah membentang ditingkahi semilir angin yang sejuk dan mendamaikan. Aku belum sempat menceritakan kejadian tadi pada Ryza. Aku sangat menikmati kesempatan perjalanan bersamanya. Aku maklum dia sangat sibuk dan tidak punya banyak waktu untuk mendengar hal-hal yang dianggapnya tidak penting. Perjumpaan aku dengan papanya dan kebingunganku dengan kata-kata papanya bukanlah hal prioritas untuk dibicarakan pada kesempatan langka ini.
Aku mengaggumi Ryza karena kepintarannya dan tatapan matanya yang tajam membuat aku terkesima. Dia ambisius dan pekerja keras. Langkah-langkah ekstrimnya dalam menghadapi berbagai masalah membuat dia dipuja sekaligus dicerca. Kelebihan dan kekurangannya sering menjadi topik bahasan yang hangat di setiap forum. Dia seorang aktifis garis keras namun juga berjiwa sosial. Dia membingungkan dan sulit ditebak namun dibalik semua itu dia juga memiliki sisi lembut dan ringkih bahkan rapuh. Lebih jauh lagi dia pernah memvonis dirinya keropos dan siap menanti kehancuran yang menghadang dipinggir jurang yang menganga dihadapannya. Dikesempatan lain dia juga mengklaim kecemerlangan yang akan digapainya sampai puncak karier yang diyakininya mampu diraihnya. Dia menjelaskan langkah-langkah meniti tangga sukses dengan gamlangnya. Sama lancarnya dengan dia menangisi kemalangan-kemalangan yang menimpanya dan menghambat langkahnya. Aku benar-benar dibuat kagum, simpati sekaligus bingung mengikuti alur hidupnya.
Apapun dia bagaimanapun jalan hidupnya tak dapat kupungkiri kalau aku sayang dia. Aku kembali teringat kata-kata papa Ryza yang membuat aku kebingungan. Sebenarnya aku malu juga dengan kata-kata papanya yang menuduh kalau aku sayang Ryza. Tapi mau bagaimana lagi karena kenyataannya kalau aku memang sayang. Rasa sayang aku wujudkan dalam bentuk perhatian dan kepedulian terhadap apapun yang dihadapinya. Aku sering menghubunginya mengirimkan pesan singkat sekedar menanyakan kabar ataupun mengingatkan untuk istirahat dan makan ataupun menjaga kesehatan. Namun semua itu membuat Ryza merasa tak nyaman dan menganggap aku berlebihan. Biarlah aku harus sabar kataku dalam hati setiap aku kecewa atas tanggapan Ryza yang sering membuat aku terluka.
Pernah suatu ketika aku menyarankan pada Ryza untuk tidak terlalu keras menghadapi suatu kasus, ada baiknya mundur selangkah untuk maju beberapa langkah. Jangan terlalu ambisi tetaplah bersyukur dan selalu ikhlas menerima kenyataan. Tapi dasar Ryza yang memang pintar selalu punya pembenaran untuk semua tindakannya. Kadang-kadang aku khawatir akan keselamatannya. Lagi-lagi dan lagi dia selalu menganggap aku berlebihan.
Aku tercenung, kurenungkan lagi kata-kata papa Ryza mungkin dia bermaksud melindungi aku atau kasihan melihat aku yang terus kecewa dan terluka. Namun aku melakukan semua itu karena aku sayang Ryza, aku peduli aku mau jadi bagian hidupnya. Aku tidak mau dia salah jalan karena ambisinya aku mau mendampingi langkah-langkahnya. Aku ingin menjadi kekuatannya disaat lemah, aku ingin menghiburnya disaat sedih. Tapi kalau menurutnya itu berlebihan dan nggak penting, mau bagaimana lagi. Mungkin ada benarnya kalau aku sayang dia aku cukup memanjatkan do’a untuk nya. Semoga Tuhan selalu melindunginya mengarahkan langkahnya kejalan yang benar mencapai cita-citanya. Karena aku yakin tidak ada yang mampu menerangi hati manusia kecuali Tuhan.
“Terimakasih Pa”, kataku dalam hati. Karena kata-kata papa Ryza telah membuka pikiranku untuk tidak terlalu larut memikirkan Ryza. Aku juga harus memikirkan diriku sendiri dan juga dunia yang membutuhkan aku. Tak perlu lagi mengirimkan beribu-ribu pesan singkat yang tak pernah dibalas ataupun telepon yang tidak pernah diangkat. Ataupun mengunjungi dia disela kesibukannya yang akan menghabiskan energi dan waktu saja. Biarlah Ryza dengan dunia ekstrimisnya semoga Tuhan selalu menjaganya.
Saat aku memikirkan kata-kata papanya Ryza, entah mengapa aku kembali merasakan kedekatan dengannya sama seperti rasa yang timbul saat dia menyebut namaku. Mungkin rasa empati yang ditunjukkan membuat aku merasa tenang dan dekat serta kata-katanya yang membuat aku merasa diperhatikan dan dilindungi. Persis sifat Ryza.
Baiklah, besok jika ada kesempatan aku akan coba menjelaskan pada papa Ryza kalau aku memang sayang sama Ryza, aku merasa damai berada didekatnya aku kagum pada kehebatannya. Namun aku juga salah terlalu ingin memasuki dirinya terlalu memaksakan diri untuk menjadi bagian dari hidupnya. Aku merasa perlu menjelaskannya karena aku sudah merasa dekat dengan papa Ryza dan kurasa papanya dan bahkan Ryza sendiri perlu tahu yang sebenarnya. Agar mereka tidak salah sangka terhadap sikap dan keputusanku.
Kuambil secarik kertas kutuliskan penjelasan yang akan kusampaikan pada Ryza dan papanya tentang komentar beliau tempo hari. Sudah menjadi kebiasaanku menuliskan sesuatu pada secarik kertas sebelumnya walaupun nantinya aku juga akan menyampaikannya secara lisan. Aku selalu menuliskan sesuatu dengan detail mulai dari hal kecil yang sepele sampai pada masalah yang penting. Aku teringat kebiasaanku dengan Ryza yang selalu menggoreskan sesuatu di kertas walaupun kami sedang berkomunikasi secara langsung. Ada saja yang diungkapkannya lewat goresan pena dengan tangannya yang cekatan melukiskan otaknya yang cerdas. Kutepis bayangan Ryza yang membuat aku tersenyum, kulanjutkan menulis. Kujelaskan bahwa aku memang sayang dan segala yang kulakukan adalah wujud dari rasa sayang. Aku tak bermaksud mengubah kehidupan Ryza yang memang sudah ada jauh sebelum kehadiranku. Aku hanya mengkhawatirkan hal-hal yang tidak biasa aku temui dikehidupanku dan mungkin sudah akrab dengan kehidupan Ryza. Mungkin juga aku berlebihan aku memang mentah dalam hidup. Namun sekali lagi aku sungguh tidak bermaksud apa-apa. Aku tidak bermaksud merampas kehidupan Ryza dan meleburnya dalam hidupku aku sadar itu tidak mungkin. Rasa sayang yang mungkin telah bermuara menjadi cinta telah membuat aku bersikap agak berlebihan yang membuat Ryza dan mungkin juga papanya agak terganggu atau mereka merasa kasihan padaku. Entahlah, yang pasti aku mohon maaf atas sikapku dan aku akan berusaha untuk menahan diri. Cinta ini tidak boleh menggelapkan mataku, menghanyutkanku dalam perasaan yang tak menentu, tekatku dalam hati.
Aku bingung kepada siapa aku harus menyampaikan hal ini terlebih dahulu, pada Ryza atau papanya. Aku putuskan untuk bicara pada papanya terlebih dulu, selain untuk menanggapi komentarnya, beliau agaknya lebih paham aku. Ini terbukti dari kata-kata yang diucapkannya padaku waktu itu. Alasan lain aku tak tau harus bicara apa pada Ryza untuk memulainya. Ryza tak pernah tau perasaanku atau tak mau tau. Aku tak pernah menyatakannya secara terbuka. Dia selalu menaggap hal-hal yang berhubungan dengan perasaan dan semacam itu tidaklah terlalu penting. Ryza yang ambisius menganggap semua itu hanyalah buang-buang waktu.
Kususuri jalan itu kembali, sendiri tanpa Ryza. Kulewati saja rumahnya langsung berjalan kebelakang. Namun tak kutemui pondok kecil berdinding bambu hanya beberapa rumpun pisang dan ubi kayu di ladang yang tidak begitu luas. Aku tercekat, kuedarkan pandangan, mataku tertumpu pada pandam pekuburan yang terdiri dari beberapa buah pusara. Langsung kuseret langkahku yang mulai terasa berat. Lidahku kelu aku langsung pergi tanpa sempat berpikir untuk mampir kerumah Ryza. Aku tak mau ada kejutan lagi disana, setidaknya jangan saat ini. Setelah aku merasa tiba ditempat yang aman dan aku cukup tenang, kuatur lagi nafasku yang berantakan, kuperlambat detak jantungku yang memekakkan batinku. Kuambil telepon genggamku, kutanya keberadaan Ryza tapi tak kuceritakan apa yang telah kualami. Aku menemuinya disela kesibukannya. Dari Ryza aku tau kalau papanya sudah meninggal dua puluh empat tahun yang lalu karena sakit lever, saat dia kelas satu SMP.
Aku terdiam, otakku sibuk menyusun kata-kata yang akan kusampaikan pada Ryza. Aku harus ekstra hati-hati menyampaikan apapun pada Ryza karena aku takut kalau aku dianggap terlalu berlebihan dan selalu mendramatisir sesuatu. Belum sempat aku menyampaikan apa-apa, Ryza menyentakkan kebisuanku, dia memintaku untuk pulang dengan sopan karena dia masih banyak pekerjaan dan ada tamu lainnya yang menunggu surat perjanjian yang sedang dibuatnya. Ah… selalu saja begitu gumamku. Aku tidak pernah punya kesempatan menyampaikan apa-apa. Jangankan mengutarakan perasaanku, menceritakan kejadian yang baru saja aku alamipun tidak sempat.
Akhirnya kulangkahkan kakiku menyusuri kebingunganku sendiri, ya sendiri lagi aku harus membiasakan semuanya sendiri. Kubaca lagi coretan di kertas yang berisi curahan hatiku yang akan kusampaikan pada Ryza dan papanya. Kulipat rapi kertas itu, walau tulisannya tak terlalu bagus, namun isinya sarat makna. Kutatap langit biru cerah apakah disana surga gumamku. Ingin kutitip kertas ini pada malaikat untuk disampaikan pada papa. Aku juga ingin menyampaikan terimakasih pada papa yang telah memperingatkan ku supaya tidak terlalu larut dalam perasaan. Aku merasakan ada kasih dari papa untukku. Tapi aku tetap ingin papa tahu kalau aku tetap akan menyimpan cinta untuk Ryza dalam hati. Kapanpun dia butuh cinta itu dia bisa mengambilnya.
Aku berpikir lagi, apakah yang aku alami sebenarnya. Apakah perasaanku pada Ryza terlalu dalam hingga aku mengalami hal-hal diluar kendali emosi dan rasio ku. Aku tak tau. Apakah yang aku alami wujud dari ketidakpedulian Ryza padaku, walaupun dia tidak bermaksud begitu. Entahlah aku tidak mau memikirkannya lagi. Bagaimanapun sudah ada yang tau perasaanku pada Ryza, yaitu papa di surga. Sekali lagi terimaksih pa, biarlah cinta ini kusimpan dalam hati saja.

Bukittinggi, 10 Januari 2008 M
1 Muharram 1429 H

Read Full Post »